GAJI TINGGI BUKAN SEGALANYA....
Mengapa perputaran karyawan tinggi
walaupun remunerasinya di atas rata-rata? Uangkah pemicunya? Atau
ada faktor lain yang menentukan kesetiaan mereka? Akhir tahun lalu,
Lesmana, seorang teman lama yang ahli dalam pengembangan bisnis
telekomunikasi mendapatkan tawaran dari sebuah perusahaan multinasional
untuk mengembangkan bisnisnya di Indonesia .
Dia tertarik dan memutuskan
untuk bergabung. Dia telah banyak mendengar tentang pimpinan
perusahaan ini, yang sering diberitakan sebagai pemimpin visionaris
dan legendaris.
Gaji Lesmana besar,
perlengkapan kantornya mutakhir, teknologinya canggih, kebijakan SDM-nya
pro-karyawan, kantornya megah di daerah segitiga emas, bahkan
kantinnya menyajikan makanan yang lezat dan murah. Dua kali dia dikirim
keluar negeri untuk pelatihan. "Proses pembelajaran saya adalah
yang tercepat di sini,"kata Lesmana. "Sungguh menakjubkan bekerja dengan
dukungan teknologi mutakhir seperti di
perusahaan ini".
Siapa nyana dua minggu lalu,
belum genap tujuh bulan bekerja di perusahaan itu, dia
mengundurkan diri. Lesmana belum mendapatkan tawaran pekerjaan lain, tapi
dia tidak sanggup lagi bertahan di sana.
Belakangan, sejumlah karyawan
di divisi yang sama dengannya ikut resigned. Direktur utama
perusahaan itu pun merasa tertekan karena perputaran (turnover)
karyawan sangat tinggi. Cemas memikirkan biaya yang sudah dikeluarkan perusahaan untuk alokasi dana
pelatihan karyawan. Ia juga bingung lantaran tidak tahu apa gerangan
yang terjadi. Mengapa karyawan yang bertalenta bagus ini
mengundurkan diri, padahal gajinya sudah cukup tinggi?
Lesmana resigned
karena beberapa alasan. Alasan ini juga yang menyebabkan sebagian besar
karyawan lain yang bertalenta tinggi akhirnya mengundurkan diri.
Beberapa survey membuktikan
bahwa jika anda kehilangan karyawan berbakat, periksalah atasan
langsung mereka. Si atasan adalah alasan utama karyawan tetap bekerja
dan berkembang dalam suatu perusahaan. Namun dia jugalah yang
menjadi alasan utama mengapa para karyawan berhenti dari pekerjaannya, membawa pergi pengetahuan,
pengalaman dan klien mereka. Bahkan tidak jarang selanjutnya secara
terang-terangan berkompetisi dengan perusahaan bekas tempatnya
bekerja.
"Karyawan meninggalkan
manajernya bukan perusahaannya,"kata para ahli SDM. Begitu banyak uang yang
telah dikeluarkan untuk tetap mempertahankan karyawan berbakat, baik
dengan memberikan gaji lebih tinggi, bonus ekstra maupun pelatihan
mahal. Namun pada akhirnya, perputaran karyawan kebanyakan
disebabkan oleh manajer/pimpinannya, bukan oleh hal lain.
Jika anda mengalami
masalah turnover , maka pertama-tama periksalah kembali para manajer anda.
Apakah mereka biang keladi yang membuat para karyawan tidak betah?.
Pada tahap tertentu, karyawan tidak lagi melihat jumlah uang yang ia
dapatkan, tapi lebih kepada bagaimana mereka diperlakukan dan
seberapa besar perusahaan menghargai mereka..
Kedua hal ini umumnya
tergantung dari sikap para pimpinan terhadap mereka. Dan sejauh ini,
bekerja dengan atasan yang buruk
sering dialami oleh para karyawan yang bekerja dengan baik. Survey
majalah Fortune beberapa tahun lalu mengungkapkan bahwa 75%
karyawan menderita karena berada di bawah atasan yang
menyebalkan. Dari seluruh penyebab stress ditempat kerja, seorang atasan
yang jahat mungkin adalah hal yang
terburuk, yang secara langsung akan mempengaruhi kinerja dan
mental para karyawan.
Simak saja kisah yang dikutip
langsung dari"medan perang" ini. Mulya seorang insinyur, masih
bergidik saat membayangkan hari-hari dimana ia dimaki-maki bos di depan staf
lainnya.
Atasannya itu sering menghina
dengan kata-kata yang kasar. Waktu menghadapi hal menakutkan
itu, Mulya praktis tak punya nyali untuk menjawab. Ia kembali ke rumah
dengan perasaan tidak keruan dan mulai menjadi kasar seperti sang
atasan. Bedanya kekesalan ini dilampiaskan ke istri dan anak-anaknya,
kadang juga ke anjing peliharaannya.
Lambat laun, bukan pekerjaan Mulya
saja yang kacau balau, pernikahan dan keluarganya pun hancur
berantakan.
Nasib Agus juga setali tiga
uang. Menceritakan "penyiksaan" yang dilakukan oleh bosnya
gara-gara ada perbedaan pendapat yang tidak terlalu penting antara
keduanya. Atasan Agus benar-benar menunjukkan rasa tidak suka terhadapnya.
Ia tidak lagi diikut-sertakan dalam pengambilan keputusan.
"Bahkan dia tidak lagi
memberikan saya dokumen maupun pekerjaan baru," keluh Agus. "Sangat
memalukan duduk di depan meja kosong tanpa tahu apapun dan tidak seorangpun
yang membantu saya". Lantaran tidak tahan lagi, lalu Agus mengundurkan
diri.
Para ahli SDM mengatakan, dari
segala bentuk kekerasan, tindakan memperlakukan karyawan
ditempat umum adalah yang terburuk. Pada awalnya, si karyawan mungkin
tidak langsung mengundurkan diri, akan tetapi pikiran itu sudah
tertanam. Jika kejadian terulang lagi, pikiran tersebut akan semakin
kuat. Dan akhirnya, pada kejadian yang ketiga, karyawan itu akan
mulai mencari pekerjaan lain. Ketika seseorang tidak bisa membalas
kemarahannya, ia akan melakukan pembalasan "pasif".
Biasanya dengan cara memperlambat pekerjaan, berleha-leha, hanya melakukan
pekerjaan yang disuruh atau menyembunyikan informasi
penting. "Jika anda bekerja untuk orang yang menyebalkan, pada dasarnya
anda ingin orang itu mendapat kesulitan.
Jiwa dan pikiran kita tidak
menyatu lagi dengan pekerjaan kita," papar Agus. Para manajer bisa menekan
bawahan melalui beragam cara. Misalnya dengan mengontrol bawahan
secara berlebihan, curiga, menekan, terlalu kritis, bawel dan sebagainya.
Namun para atasan tersebut tidak sadar bahwa karyawan bukan
merupakan aset tetap, mereka adalah manusia bebas.
Jika ini terus
berlanjut, maka seorang karyawan akan mengundurkan diri, walau tampaknya cuma karena masalah sepele saja.
Bukan pukulan ke-100 yang menjatuhkan seseorang, tapi 99 pukulan yangditerima sebelumnya. Memang
benar, karyawan meninggalkan pekerjaannya karena bermacam alasan untuk
kesempatan yang lebih baik atau kondisi yang tidak memungkinkan lagi.
Namun banyak yang semestinya tetap tinggal jika tidak ada satu
orang (seperti atasan Lesmana) yang terus-menerus
mengatakan," Kamu tidak penting, saya bisa dapat lusinan orang yang lebih baik dari
kamu!".
Kendati tersedia segudang
pekerjaan lain (terlebih dalam keadaan pengangguran tinggi sekarang
ini), bayangkanlah sesaat, berapa biaya atas hilangnya seorang
karyawan yang bertalenta tinggi..
Ada biaya yang harus dibayar untuk
mencari pengganti, ada biaya pelatihan bagi pengganti karyawan tersebut. Belum lagi
akibat yang ditimbulkan karena tidak ada orang yang mampu melakukan
pekerjaan itu saat calon pengganti sedang dicari, kehilangan klien dan
kontak yang dibawa pergi karyawan yang hengkang, penurunan moral
karyawan lainnya, hilangnya rahasia penjualan dari karyawan
tersebut yang seharusnya diinformasikan ke karyawan lainnya, dan yang
terutama turunnya reputasi perusahaan.
Lagi pula, setiap karyawan
yang pergi, bagaimanapun juga akan menjadi"duta" untuk
mewartakan hal yang baik maupun yang buruk dari perusahaan itu. Kita semua tahu suatu
perusahaan telekomunikasi besar yang orang-orang ingin sekali bergabung, atau
suatu bank yang hanya sedikit orang ingin menjadi bagiannya. Mantan
karyawan kedua perusahaan ini telah keluar untuk menceritakan kisah
pekerjaannya.
"Setiap perusahaan yang
berusaha memenangkan persaingan harus memikirkan cara untuk mengikat
jiwa setiap karyawannya," kata Jack Welch mantan orang nomor satu
di General Electric. Umumnya nilai suatu perusahaan terletak
"diantara telinga" para karyawannya.
Karyawan juga manusia, punya
mata, punya hati...
إرسال تعليق